Aku Pulang Bagian 2
“Lagi ada masalah pribadi yang cukup rumit. Aku takut kalau perempuan ini nekat terus bunuh diri di rel seperti kasus yang sudah-sudah.” Lelaki bernama Agam itu melontarkan tatapan iba ke arah Kirana, yang sedari tadi masih mematung dan bingung dengan situasi yang ada.
Para penumpang lain tidak memedulikan Kirana. Hanya tadi di awal-awal kedatangannya lalu bersikap acuh. Beruntung, hari ini stasiun tidak terlalu ramai sehingga tidak mengganggu laju orang-orang yang lalu-lalang di peron akibat posisi Kirana yang terduduk tepat di tengah-tengah jalanan peron.
“Mbak, ayo pindah ke tempat yang lebih sepi. Malu, dilihat banyak orang. Atau mau saya panggilkan taksi saja?” ajak Agam, membujuk Kirana yang sedari tadi hanya membatu tepat setelah kalimat terakhir yang terlontar dari bibir tipisnya.
Kirana tidak bergeming. Tangannya mulai bergerak perlahan, meraih barang-barangnya yang tercecer dan mencoba merapikan baju serta jilbab yang tak beraturan. Kirana bergegas memasukkan barang-barang itu ke dalam tas, berlalu meninggalkan dua petugas tadi yang masih melongo.
“Gam, Mbak-nya cantik, ya? Tapi, kok, aneh gitu. Kena gangguan mental atau gimana tuh!” celetuk rekan kerja Agam.
“Hush! Udah-udah, jangan begitu. Kita enggak tau seberat apa masalah orang, jadi jangan asal menilai dan menganggap dia rendah. Udahlah, enggak usah diperhatikan terus. Nanti naksir lho, orangnya udah jauh, juga.” Agam meledek rekannya yang rupanya menaruh perhatian aneh. Namun, memutuskan tidak memedulikan dan berlalu meninggalkan area peron munuju pos penjaga di ujung sana.
Kirana melangkahkan kakinya gontai. Namun, tidak ada pilihan lain selain pulang. Ke mana lagi dirinya harus berlabuh, bila bukan ke atas pangkuan sang ayah dan bundanya.
“Pak, taksi!” Tangannya melambai dan berseru memanggil salah satu taksi yang lalu-lalang di hadapannya. Tak banyak kendaraan yang berseliweran, tetapi terasa cukup menyesakkan bagi Kirana yang hatinya sedang dilanda patah hati itu.
“Mau ke mana, Mbak?” tanya sopir taksi, sudut matanya terlihat sedang menyorot Kirana dengan saksama melalui kaca tengah mobil.
“Ke Pasar Pakem, ya, Pak,” ucap Kirana lirih.
Sopir taksi itu berusia sekitar 50 tahunan, masih segar dan semringah, dengan senyum yang tak pernah berhenti terulas sejak Kirana duduk di dalam sedan itu. Sekali-sekali menoleh ke arah belakang, setelah cukup lama mereka hanya berdiam diri dan bapak tua itu hanya ingin memastikan penumpangnya baik-baik saja.
“Mbak, boleh saya kasih saran sedikit? Siapa tau akan membantu. Saya lihat, Mbak, lagi sedih begitu.”
“Boleh, Pak. Silakan”
“Setiap ujian yang menerpa adalah hasil dari perbuatan kita. Ujian itu tidak buruk, tapi barangkali kita yang harus intropeksi diri mengapa ujian semacam itu bisa terjadi dan apakah bisa dicegah sebetulnya. Semua ada sebab akibatnya, Mbak. Tidak serta merta terjadi begitu saja. Coba, Mbak, ingat-ingat. Sebelum hal menyedihkan ini terjadi, apa yang Mbak perbuat?” Senyum manis terulas di wajah keriput bapak tua itu, melihat hangat ke arah Kirana.
Serasa seperti bom yang dilemparkan kuat-kuat dan menghantam telak tubuhnya, memori-memori masa lalu kembali terputar dengan apik di depan Kirana. Ada sang bunda yang berdiri di hadapannya menghalau Kirana agar tidak pergi mengikuti Damar dan tinggal berdekatan dengan dirinya.
“Nak, orang itu belum tentu baik untuk kamu. Hanya hitungan bulan kalian baru mengenal, dan sekarang mau ikut dia? Bagaimana dengan bunda dan ayah, Nak? Apa demi laki-laki itu kamu rela meninggalkan kami? Bukan apa-apa, pilihanmu tetaplah pilihanmu. Bunda hanya tidak ingin kamu menyesal setelah memilih keputusan ini.”
Hanya kalimat ini yang menguar dari otaknya. Kirana tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi sudah ditahan-tahannya, menyesal tidak menuruti kata bunda dan ayahnya yang sudah mencegah dan hanya memilih menuruti ego diri sendiri. Lihat, inilah buah ketidaktaatan Kirana kepada dua orang tuanya. Tersesat dan hilang arah bukan lagi hal yang mustahil bila seorang anak lepas dan rida orang tua.
“Bun, Kirana pulang.”

Komentar
Posting Komentar