Friend’s Trap – Bagian 4
Satu setengah jam berlalu, pesawat yang Kirana tumpangi mendarat dengan selamat. Ekspresi Kirana tidak menunjukkan kegembiraan layaknya orang pergi berlibur. Tatapannya hanya dipenuhi kekosongan yang menjemukkan, terlintas seperti teriak, aku ingin pulang. Tapi raganya tidak kuasa untuk berbalik arah.
Terlihat Laras tengah sibuk menurunkan tasnya dari bagasi pesawat, terlihat kuwalahan karena tinggi badannya yang tidak bisa sempurna menjangkau tas-tas tersebut. Seorang pramugara datang membantu, “Mba Laras, sini saya bantu. Biasanya juga saya bantu, ini kok diam saja,” celetuk petugas tersebut.
Laras hanya membalas dengan senyuman singkat. Dibenak Kirana, biasanya? Seberapa sering Laras ke sini, dan Suci? Apa hubungan mereka berdua?
“Terima kasih sudah bantu Laras, niatnya ingin bersembunyi saja daripada harus ditegur. Nanti penumpang yang lain cemburu.” Suci menggoda manja dengan senyum-senyum sok dekat. Atau jangan-jangan mereka benar-benar dekat?
Urusan sekali dengan mereka. Mungkin ini kampung halaman mereka.
Kirana berjalan terlebih dahulu, melintasi Suci dan Laras yang masih berceloteh dengan pramugara. Sejurus kemudian ada pramugari datang dari arah depan ikut nimbrung dan ngobrol singkat. Sayup-sayup Kirana mendengar, “Dia tuh yang, Lo, bawa ke mata air awet muda?”
Tersentak jantung Kirana. Dari mana mereka tau dan kenal satu sama lain. Katanya maata air itu suci dan terpencil. Hanya orang-orang khusus yang mengetahui, lantas bagaimana dengan mereka? Bila orang luar, kecil kemungkinan tau, bila orang terdekat, bagaimana mereka bisa kenal.
Akhirnya menoleh juga kepala Kirana. Menyaksikan siapa saja yang tengah bergunjing di belakangnya. Ternyata menyisakan mereka bertiga dan kru pesawat. Pantas pramugari itu bisa berbicara dengan bahasa yang lebih santai. Tapi, bukankah harus menjaga sopan santun juga walaupun sudah sepi juga? Atau mereka terlalu dekat hinggak tak ada batasan?
Tak digubrisnya lagi. Dia meneruskan langkah dan turun dari pesawat.
“Ra, tadi kemana, sih? Kok udah ilang. Nggak ikut kita ngobrol-ngobrol dulu,” tegur Suci. Akhirnya menyusul langkah Kirana yang cepat dan bertemu di depan pintu masuk bandara, tempat taksi-taksi berada.
“Emang itu waktu yang tepat, ya, untuk bergosip?”
“Itu teman SMA kita, gue sama Laras. Mumpung ketemua jadinya sapa-sapaan manja dulu sebentar.”
“Iya, nih, Ra. Tadi kalo, Lo, nggak duluan bisa gue kenalin ke mereka.” Laras menimpali.
“Udah, nggak perlu, kok. Terus sekarang kita kemana?”
“Kita tunggu jemputan dulu. Habis itu perjalanan kurang lebih dua jam menuju pedesan yang kita tuju.”
“Terus, si Laras gimana? Pisah di sini?”
“Dia ikut kita. Ternyata tujuannya sama. Ya, kan, Ras?”
“Betul kata Suci. Kita setujuan, nih, barenga sekalian nggak papa, kan?”
Menyisakan tatapan bingung bagi Kirana. Kebetulan apa lagi yang menghadang. Dari hulu ke hilir semuanya sama. Mungkinkah mereka berdua bersekongkol dan pura-pura di depan Kirana?
“Ra, Lo, diem aja. Nggak papa, kan Laras ikut kita? Nanti penginapan kita juga bareng sekalian biar rame.”
“Its, oke, kok. Terserah, Lo, aja. Gue kan ngikut.”
Sepuluh menit menunggu dihiasi perdebatan kecil di antara mereka, akhirnya mobil jemputan datang juga. Sopir sekaligus merangkap sebagai guide siap menemani perjalanan darat mereka. Serta dengan cekatan memasukkan barang-barang Kirana dan lainnya ke dalam bagasi mobil.
Lima menit kemudia mereka resmi meninggalkan pelataran bandara, menuju pedesaan di kabupaten Sambas, tepatnya di desa Nibung. Akankah perjalanan mereka tanpa hambatan?
***
Diperjalanan Kirana hanya bungkam, tidak tertarik dengan obrolan Suci dan Laras. Ngakunya jarang bertemu, tapi dilihat dari interaksinya kala itu, seperti sahabat karib yang setiap hari bertemu. Kirana tidak ayalnya seperti orang asing di tengah-tengah keluarga hangat, sesak. Dirinya memilih sibuk dengan ponsel, memutar musik kesukaannya kencang-kencang.
Terlintas, dibenaknya pertanyaan, gimana, sih, awalnya. Kenapa gue bisa terjebak di sini. Bukan gue banget pokoknya. Berasa mimpi buruk.
Sepanjang perjalanan tidak ada yang menghibur Kirana selain kumpulan musik-musiknya. Namun, beruntung di jalanan yang Kirana lewati terhampar persawahan dan juga pantai di sisi lainnya. Setidaknya cukup untuk menghibur sepi hatinya.
Setengah perjalanan berlanjut, satu jam kemudian mereka sampai pada desa yang dimaksud. Lantas muncul pertanyaan, “Suci, kenapa nggak di perkampungan yang rame tadi? Ini lebih jauh dan lebih sepi.”
“Tapi di sini lebih dekat menuju mata air awet muda, jadi kita pilih di sini. Nggak masalah, kan? Tenang, orang sini baik-baik, kok.
“Kamu berapa kali ke sini? Kok tau kalo mereka baik-baik?”
Suci dan Laras hanya bertatapan dengan kikuk. Tidak menjawab lantas masuk ke dalam rumah. Kirana terlihat masih berhenti di depan rumah, bersama koper dan barang bawaannya yang habis diturunkan oleh sopir tadi.
Rasanya asyik, melihat warga berlalu-lalang, melintasi Kirana dengan segenggang ikan segar di tangannya atau hasil panen di kebun. Pemandangan yang langka sekali di perkotaan.
Terlihat ada segerombolan ibu-ibu yang tengah mengobrol sambil mengasuh anak. Kirana berjalan menghampiri dan sedikit berteriak, “Bu, mau tanya. Di sini benar, ya, dekat dengan mata air awet muda?”
Tidak ada respon dari mereka. Kirana memanggil kembali, “Bu!” lebih berteriak daripada yang pertama.
Mungkin kurang dekat dengan mereka. Maklum, masih sibuk rumpi ditambah banyak anak-anak bermain. Wajar mereka tidak dengar.
Kirana melankah mendekat, “Bu-”
Belum terselaikan kalimat Kirana, tiba-tiba ada seorang laki-laki tua menarik tangan Kirana dengan sedikit keras. “Apa yang kamu lakukan!”
“Saya hanya ingin bertanya, Pak.”
“Cukup! Jangan membawa-bawa nama itu di sini. Saya tadi dengar! Bungkam saja, informasi itu hanya untuk dirimu sendiri.”
“Kenapa, Pak?”
“Jangan banyak tanya!” dihempaskannya tangan Kirana dengan keras, lalu laki-laki tersebut meninggalkan Kirana.
Derap kaki terdengar di belakang Kirana. “Kamu kenapa? Nggak papa, kan?”
“Anu, it-, itu tadi ada bapak-bapak aneh. Habis marahin aku.”
“Kamu berbicara tentang mata air awet muda?” Laras bertanya.
Kirana mengangguk pasrah. Sedangkan Suci dan Laras tersenyum hangat. Seraya mengelus punggung tangan Kirana menenangkan.
“Itu namanya Ki Langgeng. Beliau yang biasa jaga mata air. Karena sifatnya eklusif, jadi harus disembunyikan. Tidak sembarang orang boleh mengetahui dan tidak bisa dibicarakan disembarang tempat.” Suci menggandeng lengan Kirana dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Menempatkan diri di ruang tamu dan melanjutkan obrolan.
“Betul, makanya tadi beliau marah-marah. Udah paham sekarang?”
Laras membantu Kirana mengurus koper dan barang-barangnya. Diseretnya koper itu masuk ke dalam rumah, seraya bibirnya komat-kamit berbicara menimpali perkataan Suci.
“Hmm, ya. Gue nggak papa, kok. Maaf, gue nggak tau aturan di sini.”
“Its, oke, babe,” jawab Suci dan Laras hampir bersamaan.
“Udah, gih. Lo, bisa beres-beresin barang-barang, Lo. Atau mau istirahat dulu boleh. Kalo butuh apa-apa ke kamar gue aja, ya. Gue sekamar sama Laras. Lo, bisa ke sana dan bicara sama kita.” telunjuknya mengacung ke arah kamar nomor dua sebelah kanan depan ruang tamu. Bersebelahan dengan kamar Kirana di nomor satu.
Kirana masuk ke kamar tersebut dengan tergopoh-gopoh. Energinya sudah terkuras habis dalam perjalanan. Tapi, tetap menyempatkan untuk menata isian koper dan membersihkan badan. Kebetulan ada kamar mandi dalam di kamar Kirana.
Beres mandi dirinya memutuskan ke dapur, hendak mengambil air minum. Melintasi arela ruang tamu dan kamar Suci. Tapi sayup-sayup terdengar suara orang ngobrol yang tidak sengaja Kirana dengar dari luar kamar.
“Ci, Lo, dapet temen bodoh itu dari mana, sih? Gampang banget dibodohi.”
“Bodoh, Lo. Ngomong jangan kenceng-kenceng, nanti Kirana denger.” bisik Suci. Tapi bisikannya tetap masih terdengar dari luar kamar, Kirana mendengarkannya dengan seksama.
Apa maksut mereka?
Komentar
Posting Komentar