Friend’s Trap – Bagian 1


Jam dinding menunjukkan pukul satu lebih dua puluh menit, siang hari. Tik-tok, tik-tok, jarum jam berdenting nyaring membosankan. Lajunya terasa lambat dan menyesakkan. Perut sudah terisi, tubuh sudah diistirahatkan sejenak, tapi pikiran masih saja melayang ke mana-mana, siapa lagi kalau bukan Kirana.

 Menit jam sudah bergeser ke angka satu dan enam, tapi Kirana masih saja sibuk dengan pikirannya. Belum mulai bekerja, dan hanya mematung menatap nanar kea rah layar komputer. Tak diperhatikannya barisan data-data itu. Ponsel yang bordering pun tak diliriknya sama sekali. Meja kerjanya ikut bergetar seraya ponsel yang bunyi, tapi tak ada respon dari sang empu.

“Ra, ponselnya bunyi, tuh. Angkat dulu napa,” tegur Meyta. Badannya sedikit menyerong ke arah Kirana, guna memandang wajah mungil itu. Walau yang ditatap tidak mengubah posisi sesenti pun.

“Ra,” panggilnya lagi.

“Kirana!” sentakknya, membuat seantreo raungan ikut melongok kea rah Kirana. Berhenti seperkian detik demi melihat drama dadakan itu.

“Apasih, Mey?” jawab Kirana.

Dengan polosnya meraih gawai itu dan menggeser tombol hijau ke arah kanan. Tanpa memedulikan tatapan kesal Meyta.

“Gila, Lu, Ra. Dipanggil dari tadi nggak nyaut. Mana responnya gitu doang. Terserah deh.” Meyta menggerutu, tubuhnya melengos membelakangi tubu Kirana, dan melanjutkan pekerjaannya.

“Halo, siapa ini?”

“Suci? Dulu anak SMP Citra Nusa, itu?”

“Mau ngajak ketemu? Kenapa?”

“Yauda, deh. Boleh. Nanti ketemua di Kafe Pelangi deket kantorku aja, ya?”

Sedetik dari tangan Kirana meletakkan ponselnya, Meyta menyambar, “Telpon dari siapa, Ra? Tumben pake tanya, siapa.”

“Suci, temenku SMP dulu. Tiba-tiba telpon, nggak tau mau ngapain.”

Kirana bukan orang yang repot, bila tidak kenal dengan sang penelpon, maka tidak menerima. Peduli sangat dengan orang penting dan pernak-perniknya. Sekali tidak kenal, yasudah. Kecuali memberitahu dahulu lewat pesan atau email dan memperkenalkan diri.

Tapi gara-gara efek melamun dirinya tidak sempat menatap layar posel dan asal angkat. Alhasil harus berurusan dengan orang baru.

“Gue baru denger. Lo, serius mau ketemu sama dia?”

“Serius, lah, dodol. Gue udah bilang, iya. Lo, mau ikut?” tawar Kirana, niatnya agar terselamatkan oleh kehadiran Meyta.

“Ah, ogah. Lo, aja. Gue mau bantu Netflix-an aja di rumah.”

“Lah, sekali ini doang nemenin. Masa nggak mau, sih?”

“Dia kan temen, Lo. Temuin sendiri, lah. Lagian roman-romannya mencurigakan. Ih, takut.”

“Seingetku Suci baik sih, walau dulu agak freak. Jadi ketemu nggak, ya? Lo, bikin gue bimbang.”

Bola mata Kirana berputar ke kanan, kiri, atas, bawah. Menandakan sedang berpikir keras. Meyta hanya memandang tingkah sang sahabat dengan tawa-tawa geli.

“Iya-iya, enggak-enggak. Gitu aja repot, Neng. Dah sana, kerja, Lo. Dari tadi ngelamun, sekarang malah pusing sama perkara sepele.”

“Eeehhnmm.”

Terderah suara deheman dari belakang mereka. Suaranya berat. Seketika satu ruangan hening. Kirana dan Meyta perlahan menoleh dengan hati-hati, lalu serentak menjawab, “”Eh, ada Pak Antok.”

“Gimana, mau kerja apa mau ngobrol?”

“Ya, mau kerja dong, Pak.”

“Hush, ngomong sama Pak Antok yang sopan, Ra,” ingat Meyta, ditutup dengan tawa menggantung.

Pak Antok tidak merespon. Dia melanjutkan langkah menuju ruang kerjanya di ujung ruangan itu. Tanpa berkata sepatah kata pun. Suasana lantai itu masih dingin dan sepi. Efek dari teguran Pak Antok, rasa merinding merambat ke seluruh karyawan yang ada di lantai itu.

***

Tangan Kirana sibuk memasukkan buku catatan kecil berserta alat tulisnya. Tidak lupa mengemas sampah-sampah camilannya ke dalam satu plastik besar. Juga mematikan komputer kantornya. Denting jam dinding masih terdengar membosankan. Tapi jarum jam sudah menunjukkan pukul empat, sore hari. Suntikan semangat serasa menjalar hangat ke seluruh tubuh dan kembali segar rasanya.

“Oi, gue pulang duluan, ya, Ra. Nanti hati-hati. Pulang nggak usah malem-malem. Banyak hantu, haha,” celetuk Meyta menghentikan aktifitas beres-beres Kirana.

“Dasar bawel! Iya-iya, nanti gue hati-hati. Lo juga hati-hati, ya.”

Meyta hanya melemparkan senyum hangat kepada Kirana seraya melangkah meninggalkan meja kerjanya. Lima menit kemudian pun Kirana menyusul langkah Meyta, dan berpisah di lorong.

Lima belas menit kemudian halaman luas penuh dengan meja kursi cantik menyambut pemandangan mata. Dihiasi dengan lampu-lampu kuning disetiap sisinya dan juga dinaungi pepohonan rindang. Kafe ini bernuansa alam, dindingnya terbuat dari kaca, bukan bata. Langit terlihat sangat jelas dari dalam. Cocok dengan langit sore, bisa menikmati kopi sekaligus memandang matahari terbenam tanpa harus ke gedung tinggi atau ke dataran tinggi.

Mata itu menyapu ke seantreo ruangan, melihat apakah meja nomor tiga belas masih kosong. Hari keberuntungan berpihak kepada Kirana. Meja dipojok ruang dekat pintu belakang mengarah ke halaman luar indoor masih bisa diduduki. Kakinya melangkah ke sana dan mendaratkan tubuh.

Sejurus kemudian merogoh tas jinjing yang dibawanya. Mengambil ponsel andalan dan membuka riwayat telepon.

“Halo, Suci. Gue udah sampai, nih. Di meja nomor tiga belas. Lo, buruan ke sini.”

Tidak ada lima menit berbicara, telepon itu sudah kembali masuk ke dalam tas. Menyisakan Kirana yang tengah takjub melihat keindahan langit sore itu. Jam menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, sore hari. Langit sudah mulai menguning dan rombongan burung mondar-mandir pulang ke rumah masing-masing.

Pelayan pun ikut mondar-mandir dengan banyaknya pelanggan yang mulai membanjiri kafe. Salah satunya sudah berhenti, mengantarkan minuman Kirana. Itu pun tandas diminumnya. Namun, batang hidung Suci belum juga nampak. Padahal sudah tiga puluh menit berlalu.

Tidak ada barangnya yang bercecer. Kiranya hanya perlu membawa tas jinjingnya dan melangkah ke kasir. Antriannya cukup lengang, hanya ada satu pelanggan, dan tidak lama menunggu giliran Kirana.

Langkahnya sudah keluar dari area kafe. Jalannya fokus untuk mencari angkutan umum. Jam sore begitu jalanan ibukota jelas ramai. Lima menit menunggu ada sebuah mobil putih mengklakson Kirana seraya menurunkan kaca mobil. Seorang wanita muda, cantik jelita, dengan mata lebar dan hidung mancung terlihat melongok ke luar jendela.

“Ra, Kirana, ya?” katanya, dengan suara sedikit berteriak.

“Siapa? Suci?” Kirana bertanya dengan ragu-ragu. Bingung menatap seseorang yang tengah berbicara dengannya.

“Iya, gue Suci. Masuk, yuk.”

Suci melanjutkan, “Maaf banget. Lo, pasti udah nunggu lama banget, ya? Sumpah, jalanan Jakarta serame ini, ya, kalo sore?”

“Halah, kayak nggak tau Jakarta, aja. Its, oke. Nggak papa, kok. Apa nanti mau mampir ke rumah aja?”

“Nggak ngerepotin, nih?”

“Enggak. Kan katanya mau ngobrol.”

Suasana di dalam mobil cukup canggung. Mereka hanya diam. Kirana sesekali menatap ke luar jendela mobil, merilis bosannya yang membuncah. Satu mobil dengan orang baru, ditambah terjebak macet, rasanya-rasanya seperti mau mati, batin Kirana.

Satu jam kemudian mobil putih itu sudah masuk ke kawasan Perumahan Pondok Indah. Di usia muda Kirana memang sudah berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik. Bisa membeli rumah di kawasan baik serta dua mobil yang terparkir di garasi rumahnya.

“Ini parkir di pinggiran jalan gini aman, ya, Ra?”

“Aman, kok. Masukin garasi juga udah penuh.”

“Its, oke, deh.”

Mereka berdua melangkah memasuki rumah. Dan menghabiskan waktu mengobrol. Obrolan mereka tidak secanggung ketika di mobil. Lebir cair dan hangat. Mungkin karena sudah mulai terbiasa satu sama lain.

“Ra, udah jam segini, nih. Gue mau belik ke Bogor takut. Kira-kira gue nginep sini, boleh nggak, ya?”

Kirana sedikit tersentak. Teman-temannya tidak ada yang menginap di sini, kecuali Meyta. Tapi Suci, baru pertama bertemu, dan mengecewakan. Namun, sudah berani meminta menginap. Orang ini aneh, batin Kirana.

“Ehhm, yaudah, deh. Boleh. Nanti bisa tidur di kamar tamu, ya,” jawabnya dengan sedikit berat hati.

Bukan karena tidak mau menerima tamu dengan baik, tapi jaman sekarang harus hati-hati. Jangan terlena dan mudah dimanfaatkan orang. Karena sejatinya tidak pernah tau, apakah orang ini benar-benar baik atau hanya pura-pura.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Diri Kita Seorang Introvert?

Untuk Kalian

8 Rekomendasi Buku Yang di Baca Pevita Pearce