Pengantar Kebudayaan dan Kelas Sosial

Ada dua hal perbadingan yang dibandingkan dalam, kajian Harris, yakni materialisme budaya dan behavior radicalism. Sebetulnya dua hal di samping berkaitan, karena sebuah budaya lumrahnya lahir dari perilaku. Maka behavior radicalism ini merupakan penekanan sebuah budaya yang terbentuk dari lingkungan (perbuatan) daripada sebuah keturunan (sifat bawaan). Budaya sendiri bila dimaknai adalah sebuah respon operan yang terjadi dan ditanggapi oleh kelas (kelompok) yang lalu direpetisi dan akhirnya mejadi hal-hal yang dilakukan hingga lintas generasi.

Kelas operan yang diidentifikasi sebagai tindakan repitisi atau budaya ini antara lain perilaku berburu, mengumpulkan, berperang, bermusuhan, barter, pesta, dan sebagainya. Yang mana akhirnya hal-hal di atas dianggap sebagai sebuah ciri- ciri tradisi atau kebudayaan tertentu. Kepentingan-kepentingan dari kelas operan yang berbeda, memaksa tiap-tiap mereka melakukan evolusi terhadap apa yang biasa mereka lakukan (budaya) hingga akhirnya melahirkan sosiokultural. Kepentingan ini hadir dari inovasi ideologis, yang kian hari kian berevolusi, sehingga menjadikan kebudayaan pun terus “berubah.”

Perilaku verbal internal dan eksternal sangat mempengaruhi bentuk-bentuk sosiokultural. Tetapi kondisi structural dalam sebuah kelas bisa membatasi tindakan memahami pola-pola perilaku sosial dan budaya pada kelas tertentu. Sehingga menghambat keefektifan perubahan yang ingin dibentuk. Karena sejatinya ilmu saja tidaklah penting untuk merubah suatu hal, bila hal yang mendasar (perilaku) belum bisa diperbaiki atau diarahkan. Dengan hal dasar yang belum “dibereskan” kita tidak akan bisa mengajarkan apa yang ingin kita ajarkan. Tidak bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Sudah keburu kepentok dengan apa yang mereka percayai sebagai sebauh tradisi atau kebudayaan.

Sebuah teori dianggap tidak akan menjadi sebuah teori bila hal itu tidak didasarkan pada sebuah fakta dan pengalaman yang menunjang. Bacon tidak seperti Darwis, dan Newton yang mengemukakan ilmu sains, yang hal-halnya bisa langsung terlihat dalam sebuah pembuktian teori. Karena ilmu folosofi berbeda dengan ilmu sains, hingga pembuktian teorinya sangat sulit dicapai. Pengamatan dan pengalaman pada fenomena-fenomena social menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan untuk memahami hubungan antara fakta-fakta nonmatematis yang tidak terlihat secara kasat mata. Menjadi hal yang sia-sia bila menentukan sebuah peristiwa tanpa harus melakukan pengamatan terlebih dahulu.

Teori matrealism sendiri dibawa oleh dua ideolog Jerman yakni Marx dan Engels. Yang mana mereka berdua mengsulkan untuk menitikberatkan [ada materi kondisi yang menentukan eksistensi manusia pada kajian fenomena social budaya. Pokok epistimologis yang coba dikemukakan mereka yakni bahwa pendirian tidak dapat dibuat melalui konsep kenyataan. Pikiran dan perilaku seseorang bisa dilihat dari dua perspektif, yakni perspektif manusia itu sendiri dan dari sudut pandang seorang pengamat. Tapi karena kedua sudut pandang itu dapat disajikan secara objektif, maka tidak dapat digunakan kata objektif dan subjektif untuk menunjukkan opsi yang dipermasalahkan, karena bisa menimbulkan miss perception.

Maka antropolog mengguanakn kata emic dan etic. Untuk mendefinisikan permasalahan mereka. Emic memiliki ciri khas elevasi asli, seorang pengamat memberi deskrispi dan analisis dari etic (sesuatu yang diamati). Analisis itu merupakan hasil pernyataan yang dapat diterima berupa nyata, bermakna atau sesuai. Sedangkan etic memiliki ciri khas ketinggian seorang emic dari konsep yang digunakan untuk mendiskripsikan dan menganalisis siatu pernasalahan. Berupa kemampuan untuk menghasilkan teori-teori produktif secara ilmiah penyebab dan persamaan dan perbedaan budaya. Mereka pun ebbas menggunakan Bahasa yang berasal dari data sains, tidak harus dengan konsep nyata, bermakna dan tepat dari sudut pandang asli.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Diri Kita Seorang Introvert?

Untuk Kalian

8 Rekomendasi Buku Yang di Baca Pevita Pearce